Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa setiap manusia memiliki dua buah kekuatan; kekuatan ilmu dan kekuatan amal. Kebahagiaan yang sempurna akan bisa digapai apabila manusia berusaha menyempurnakan kedua buah kekuatan tersebut.
Menyempurnakan kekuatan ilmu adalah dengan; [1] mengenal pencipta dirinya, menyelami keindahan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, [2] mengenali jalan yang bisa mengantarkan kepada-Nya dan [3] mengenali hal-hal yang bisa merusak dan mengganggu perjalanannya, [4] mengenali hakikat dirinya dan [5] mengenali aib-aib yang ada di dalamnya. Dengan kelima macam ilmu inilah manusia akan bisa menyempurnakan kekuatan ilmunya. Orang yang paling berilmu adalah orang yang paling mengerti dan paling paham mengenai kelima hal tersebut.
Adapun menyempurnakan kekuatan amal adalah dengan cara memelihara hak-hak Allah atas hamba -yaitu beribadah dan mentauhidkan-Nya- dengan senantiasa ikhlas, jujur, tulus, ihsan, mengikuti tuntunan, dan selalu mempersaksikan segala nikmat yang telah diberikan-Nya, dan dirinya memandang bahwa sangat kurang dalam menunaikan hak-Nya. Sehingga dirinya malu karena menghadap-Nya dengan pengabdian yang semacam ini. Sebab dia menyadari bahwa Allah memiliki hak yang sangat agung dan apa yang dipersembahkan olehnya tidak ada apa-apanya.
Dia pun menyadari bahwa tidak ada jalan baginya untuk menyempurnakan kedua kekuatan ini kecuali dengan bantuan dan pertolongan dari-Nya. Oleh sebab itu dirinya sangat terdesak untuk memohon petunjuk-Nya untuk bisa meniti jalan yang lurus/shirothol mustaqim. Hidayah yang telah diberikan-Nya kepada para wali dan orang-orang yang diistimewakan oleh-Nya. Dirinya juga memohon agar Allah menjaganya untuk tidak keluar dari jalan yang lurus itu. Baik dalam bentuk kerusakan ilmu yang menyebabkan kesesatan, atau kerusakan dalam hal amal yang menjerumuskan ke dalam kemurkaan Allah. Dia berlindung kepada Allah dari semua keburukan itu.
Kesempurnaan manusia dan kebahagiaan dirinya tidak akan bisa terwujud kecuali dengan terkumpulnya perkara-perkara di atas. Dan ini semuanya telah terangkum dengan apik di dalam surat Al-Fatihah. Di dalam ayat-ayat ‘alhamdulillahi rabbil ‘alamin, arrahmanirrahiim, maliki yaumid diin’ telah terkandung pokok yang pertama; yaitu mengenal pencipta dirinya, mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang ada dalam surat ini adalah pokok dari seluruh asma’ul husna.
Nama ‘Allah’ mengandung sifat-sifat ketuhanan. Nama ‘Ar-Rabb’ mengandung sifat-sifat rububiiyah. Adapun nama ‘Ar-Rahman’ mengandung sifat-sifat kebaikan, keedermawanan, dan kebajikan. Makna-makna asma’ul husna berporos pada ketiga kandungan nama ini.
Kemudian ayat ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ mengandung pengertian jalan yang akan mengantarkan kepada-Nya; yaitu dengan beribadah kepada Allah semata dan senantiasa memohon pertolongan dari-Nya untuk bisa beribadah kepada-Nya.
Lalu ayat ‘ihdinash shirathal mustaqim’ mengandung pengertian bahwa tidak ada jalan untuk mencapai kebahagiaan kecuali dengan istiqomah di atas jalan yang lurus. Sementara tidak ada jalan untuk bisa istiqomah di atas jalan itu kecuali dengan hidayah dari Allah. Sebagaimana halnya tidak ada jalan untuk bisa beribadah kepada Allah kecuali dengan bantuan dan pertolongan dari-Nya.
Ayat ‘ghairil maghdhubi alaihim wa laadh dhaalliin’ berisi keterangan mengenai dua sisi penyimpangan dari jalan yang lurus. Penyimpangan yang pertama akan menjerumuskan dalam kerusakan ilmu dan keyakinan, sedangkan penyimpangan yang kedua akan menjerumuskan dirinya dalam kerusakan dalam hal niat dan amalan.
Sehingga bagian awal dari surat Al-Fatihah ini berisi rahmat, pertengahannya mengandung hidayah, dan akhirnya mencurahkan nikmat. Besarnya nikmat yang diperoleh oleh hamba tergantung pada kadar hidayah yang didapatkan olehnya. Sementara besarnya hidayah yang dia dapatkan tergantung pada besarnya rahmat Allah yang dia peroleh. Sehingga urusan ini semuanya kembali kepada nikmat dan rahmat dari Allah.
Sementara nikmat dan rahmat Allah adalah konsekuensi dari sifat rububiyah-Nya. Sehingga Allah adalah dzat yang selalu merahmati dan mencurahkan nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Dan ini semuanya merupakan bagian tak terpisahkan dari sifat-sifat uluhiyah yang melekat pada diri Allah. Maka hanya Allah sesembahan/ilah yang benar, bagaimana pun penentangan dan syirik yang dilakukan oleh manusia terhadap-Nya.
Barangsiapa yang mewujudkan nilai-nilai keimanan yang tersimpan dalam surat Al-Fatihah dalam hal ilmu, pemahaman, amalan, dan keadaan, niscaya dia akan berhasil meraih tingkat kesempurnaan dengan sebesar-besarnya, dan niscaya penghambaan yang dilakukan olehnya akan terangkat dan melejit di atas penghambaan yang dilakukan oleh para ahli ibadah yang biasa-biasa.
Wallahul musta’an.